google-site-verification: googlef86a2eb9bd51fff0.html INDOmicroFISHING: November 2017

Social Icons

Pages

Minggu, 26 November 2017

Sabeulit, Surga Kecil Bagi Pemancing Berjiwa Laki


Entah kenapa, aku merasa “laki” banget saat mancing di spot yang memiliki medan sulit dan tidak semua pemancing bisa mencapainya. Seperti spot kali ini, Sabeulit.

Ya, spot perjalan mancing aku kali ini memang punya track menantang saat dilalui dengan jalan darat. Sebenarnya ini pertama kali aku ke sana, karena obrolan beberapa kawan angler dan postingan di grup begitu menggairahkan. Ikan ukuran babon dan beragam sepecies, secara spotnya masih cukup perawan.

Awalnya tidak terbayangkan track akan seekstrim itu. Perjalanan menuju arah bendungan Jati Gede berjalan mulus, karena jalan beraspal walaupun ada lobang sana-sini akibat truk pengangkut material. Begitu belok kiri kea rah bakom, jalan berubah berbatu kerikil naik turun dan melingkar selanjutnya lebih parah lagi, jalan tanah lempung yang becek bekas hujan hari kemarin.

road to Sabeulit

jalur rock n roll


Berbekal google map di android dan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) alias tanya sana-sini sampailah juga di spot. Sebuah rakit yang sepi. Ada rakit di di depanya, kosong. Agak juah lagi ada sebuah rakit yang dihuni seorang pemancing yang sedang sibuk melempar umpan.

Kami pun saling sapa meski harus dengan cara berteriak. Nampaknya tarikan ikan lagi sepi. Dari pagi belum ada sambaran, katanya. Dia mengeluhkan cuaca mendung dan tiupan angin. Padahal itu lapak andalanya. Ikan monster ukuran 2,8 kg pernah ia angkat di sana.


Setalah dandan, aku lempar umpan. Teknik glosor. Tiga meter dari rakit.


si pelem nilem (Osteochilus vittatus)
Umpan langsung disambar, joran  melengkung. Seekor ikan nilem (melem) ukuran besar langsung landed. Tiga ekor berikutnya berhasil diangkat berturut-turut. Kontan si akang yang tadi misuh-misuh. Padahal dia datang lebih dulu, tapi aku yang strike. Itulah mancing. Faktor rezeki.


Tapi cuaca semakin tidak bersahabat, langit makin gelap menghantarkan udara dingin. Angin semakin besar. Ikan entah ngumpet kemana. Sepi. Tidak ada lagi sambaran.

Hujan pun tak bisa dibendung. Aku sibuk membereskan tas dan peralatan lainya, karena rakit bocor. Dalam hati aku menggerutu “modar gue, gak bakalan bisa pulang”.

Pilihan terbaik waktu itu, pulang. Mumpung jalanan masih bisa dilalui. Tapi pilihanya bukan itu, aku lanjut mancing. Pilihan yang tidak rasional, pilihan yang hanya dimengerti oleh tukang mancing. Hujan pun reda, tapi kemudian datang lagi meski tidak besar, begitu bergantian. Saat hujan berhenti, serangan ada tapi jedanya lama.

Dan akhirnya waktunya pulang datang. Tapi inilah awal petualangan yang sesungguhnya.

Benar saja, di tempat penyimpanan motor tanah sudah berlumpur, seperti bubur. Tinggal motorku sediri (padahal tadinya ada tiga motor di sana). Si koboy sudah dalam posisi miring ke kiri karena pijakan standarnya ambles. Aku menghela napas panjang sebelum menstarter motor, membayangkan motor supra fit tahun 2006 itu akan melalui jalan tanah liat yang baru saja diguyur hujan besar.

Tanjakan pertama saja, motor sudah tak mampu naik, didorong sambil di gas bannya malah mater. Akhirnya di gas sekencengnya dan…motorpun terguling. Sempat berpikir ditinggal saja, atau bahkan nginep sekalian di rakit. Tapi akhirnya dicoba lagi, di dorong. Nyampe. Beberapa tanjakan kecil dilalui dengan cara yang sama, hingga di tanjakan terakhir yang cukup terjal, dekat rumah penduduk. Tenaga sudah lemas, badan sudah kotor belepotan tanah. Dan pertolongan pun datang, ada orang yang kelihatanya baru pulang dari ladang membantu mendorong dari belakang. Meski motor sempat terjatuh, tapi sampai juga di atas. Nyampe di sana, serasa nyampe di rumah. Perjalanan berikutnya tinggal menyusuri jalanan desa yang relatif lebih mudah dilalui.
satu truk dan pick up bak terbuka terjebak

Sampe di jalan raya, aku tidak membersihkan diri. Sengaja membiarkan apa adanya. Dan tentu saja, bisa dibayangkan motor penuh lumpur, nyeker karena sejak awal perjalanan sandal sudah dilepas, menenteng tas pancing dan sebuah dry bag warna orange, berseliweran diantara mobil dan motor mengkilap yang hendak menikmati suasana minggu sore. Entah kenapa, saat seperti itulah justru aku merasa “macho”. Seperti ingin menunjukan ke orang-orang, ini aku yang telah menaklukan medan berat demi sebuah hobi yang aku yakini.

Hari hamper gelap ketika sampai di gerbang rumah. Istri saya berdiri di depan pintu, sementara aku, suaminya turun dari motor yang sudah tidak mirupa lagi, menenteng tas joran di sebelah kanan, dan ikan tangkapan di tangan kiri sambil sedikit mengangkat bahu. Tentu saja badan masih belepotan lumpur.

Ia tertegun, berkedip sekali lalu tangan kirinya bergerak cepat menutup mulutnya, badannya terguncang karena menahan tawa, sementara tangan kanannya mengangkat jempol dan di arahkan kepadaku. Ia masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa. Mungkin dalam hatinya berbisik, “duh, laki banget suami aku…”.


Aku memasuki rumah dengan langkah tegap. Entah kenapa aku merasa semakin laki.

 
Blogger Templates