Entah kenapa, aku merasa “laki”
banget saat mancing di spot yang memiliki medan sulit dan tidak semua pemancing
bisa mencapainya. Seperti spot kali ini, Sabeulit.
Ya, spot perjalan mancing aku
kali ini memang punya track menantang saat dilalui dengan jalan darat. Sebenarnya
ini pertama kali aku ke sana, karena obrolan beberapa kawan angler dan
postingan di grup begitu menggairahkan. Ikan ukuran babon dan beragam sepecies,
secara spotnya masih cukup perawan.
Awalnya tidak terbayangkan track
akan seekstrim itu. Perjalanan menuju arah bendungan Jati Gede berjalan mulus,
karena jalan beraspal walaupun ada lobang sana-sini akibat truk pengangkut
material. Begitu belok kiri kea rah bakom, jalan berubah berbatu kerikil naik
turun dan melingkar selanjutnya lebih parah lagi, jalan tanah lempung yang
becek bekas hujan hari kemarin.
![]() |
road to Sabeulit |
![]() |
jalur rock n roll |
Berbekal google map di android
dan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) alias tanya sana-sini sampailah juga di
spot. Sebuah rakit yang sepi. Ada rakit di di depanya, kosong. Agak juah lagi
ada sebuah rakit yang dihuni seorang pemancing yang sedang sibuk melempar
umpan.
Kami pun saling sapa meski harus
dengan cara berteriak. Nampaknya tarikan ikan lagi sepi. Dari pagi belum ada
sambaran, katanya. Dia mengeluhkan cuaca mendung dan tiupan angin. Padahal itu
lapak andalanya. Ikan monster ukuran 2,8 kg pernah ia angkat di sana.
Setalah dandan, aku lempar umpan.
Teknik glosor. Tiga meter dari rakit.
![]() |
si pelem nilem (Osteochilus vittatus) |
Umpan langsung disambar,
joran melengkung. Seekor ikan nilem
(melem) ukuran besar langsung landed. Tiga ekor berikutnya berhasil diangkat
berturut-turut. Kontan si akang yang tadi misuh-misuh. Padahal dia datang lebih
dulu, tapi aku yang strike. Itulah mancing. Faktor rezeki.
Tapi cuaca semakin tidak
bersahabat, langit makin gelap menghantarkan udara dingin. Angin semakin besar.
Ikan entah ngumpet kemana. Sepi. Tidak ada lagi sambaran.
Hujan pun tak bisa dibendung. Aku
sibuk membereskan tas dan peralatan lainya, karena rakit bocor. Dalam hati aku
menggerutu “modar gue, gak bakalan bisa pulang”.
Pilihan terbaik waktu itu,
pulang. Mumpung jalanan masih bisa dilalui. Tapi pilihanya bukan itu, aku
lanjut mancing. Pilihan yang tidak rasional, pilihan yang hanya dimengerti oleh
tukang mancing. Hujan pun reda, tapi kemudian datang lagi meski tidak besar,
begitu bergantian. Saat hujan berhenti, serangan ada tapi jedanya lama.
Dan akhirnya waktunya pulang datang.
Tapi inilah awal petualangan yang sesungguhnya.
Benar saja, di tempat penyimpanan
motor tanah sudah berlumpur, seperti bubur. Tinggal motorku sediri (padahal
tadinya ada tiga motor di sana). Si koboy sudah dalam posisi miring ke kiri
karena pijakan standarnya ambles. Aku menghela napas panjang sebelum menstarter
motor, membayangkan motor supra fit tahun 2006 itu akan melalui jalan tanah
liat yang baru saja diguyur hujan besar.
Tanjakan pertama saja, motor
sudah tak mampu naik, didorong sambil di gas bannya malah mater. Akhirnya di
gas sekencengnya dan…motorpun terguling. Sempat berpikir ditinggal saja, atau
bahkan nginep sekalian di rakit. Tapi akhirnya dicoba lagi, di dorong. Nyampe. Beberapa
tanjakan kecil dilalui dengan cara yang sama, hingga di tanjakan terakhir yang
cukup terjal, dekat rumah penduduk. Tenaga sudah lemas, badan sudah kotor belepotan
tanah. Dan pertolongan pun datang, ada orang yang kelihatanya baru pulang dari ladang
membantu mendorong dari belakang. Meski motor sempat terjatuh, tapi sampai juga
di atas. Nyampe di sana, serasa nyampe di rumah. Perjalanan berikutnya tinggal
menyusuri jalanan desa yang relatif lebih mudah dilalui.
![]() |
satu truk dan pick up bak terbuka terjebak |
Sampe di jalan raya, aku tidak
membersihkan diri. Sengaja membiarkan apa adanya. Dan tentu saja, bisa dibayangkan
motor penuh lumpur, nyeker karena sejak awal perjalanan sandal sudah dilepas,
menenteng tas pancing dan sebuah dry bag warna orange, berseliweran diantara
mobil dan motor mengkilap yang hendak menikmati suasana minggu sore. Entah
kenapa, saat seperti itulah justru aku merasa “macho”. Seperti ingin menunjukan
ke orang-orang, ini aku yang telah menaklukan medan berat demi sebuah hobi yang aku yakini.
Hari hamper gelap ketika sampai
di gerbang rumah. Istri saya berdiri di depan pintu, sementara aku, suaminya turun
dari motor yang sudah tidak mirupa lagi, menenteng tas joran di sebelah kanan,
dan ikan tangkapan di tangan kiri sambil sedikit mengangkat bahu. Tentu saja
badan masih belepotan lumpur.
Ia tertegun, berkedip sekali lalu
tangan kirinya bergerak cepat menutup mulutnya, badannya terguncang karena
menahan tawa, sementara tangan kanannya mengangkat jempol dan di arahkan
kepadaku. Ia masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa. Mungkin dalam hatinya
berbisik, “duh, laki banget suami aku…”.
Aku memasuki rumah dengan langkah tegap. Entah kenapa aku merasa semakin
laki.